ILUSTRASI GAMBAR |
Kedatangan
penulis kali ini ke Gereja adalah untuk mewujudnyatakan kerinduan terhadap Sang
Pencipta, yaitu Alllah Bapa. Dan menjadikan Yesus sebagai pengantar dari awal
keluar hingga masuknya kembali. Namun penulis bukanlah beribadah di gedung yang
menciptakan suasana hikmat berisikan orang-orang yang percaya akan Yesus,
melainkan ke salah satu rumah dari orang percaya tersebut.
Penulis
bersama sejumlah pemuda Kristen lainnya menuju lokasi yang telah direncanakan.
Sesampainya di lokasi tempat orang percaya tersebut bernaung, betapa takjubnya
sang penulis melihat kemegahan yang ada di hadapannya. Tapi itu tak terpampang
nyata pada pemuda yang ada di samping kanan kirinya. Sebab sudah hal yang biasa
mengunjungi rumah orang berduit lebih, seakan uang didompet mereka meluap
karena terlalu kayanya. Apalagi Gereja tempat penulis beribadah kebanyakan
golongan menengah ke atas, sedangkan penulis hanyalah golongan menengah ke
sudut paling pojok dan dangkal. Itulah yang membuat penulis jadi terlihat kamseupay.
Saat
duduk, penulis hanya bisa terdiam kaku. Terasa begitu canggung. Ada banyak aura
hitam yang membendung diri penulis. ‘Begitu tidak nyaman. Begitu norak. Dan
begitu…..indah’, dalam hati penulis yang tiba-tiba cenat-cenut ketika sesosok
makhluk Tuhan yang paling seksi duduk tepat arah jam sebelas dari arah duduk
penulis yang menghadap utara. ‘Siapakah dia yang begitu berbeda? Terlihat
seperti Nias . Astaga!’, dag dig dug hati penulis melihat sosok itu menatapnya
balik. Tahukah dia penulis curi pandang? ‘Curigakah dia?’
Kelihatannya
orang percaya ini memiliki delapan anak. Namun, hanya tiga yang layak berada
dalam foto keluarga. ‘Kandungkah ketiganya? Lalu? Lima lagi siapa?’ Ada yang
mirip peranakan dari kawin campur, ada yang seperti Nias, ada yang tidak
terdeteksi mirip apa. Tidak satupun diantara mereka yang mirip dengan orangtua
mereka dan termasuk saudaranya sendiri. Padahal pastinya dalam keluarga akan
ada kemiripan biologis antara anak dengan orangtuanya dan anak terhadap saudaranya.
‘Huftt, sungguh bertolakbelakang’. ‘Dia….’, melirik terus ke arah penulis
seolah inginkan penulis, ingin bercinta dengan penulis. Hingga penulis sangat
salah tingkah. Begitu panas, padahal ada kipas angin serong ke hadapannya
berhembus kencang. ‘Ya ampun, tatapan itu sungguh menggetarkan hati. Buatku
cetar membahana badai. Oh, akankah semua berakhir?’ Penulis pikir iya, sebab
tak mungkin tinggal lama di sini.
Penulis
mengenali adik dari sosok yang dikaguminya. Dia adalah teman seangkatan penulis
saat pelepasan masa remaja ke masa pendewasaan dalam Tuhan. Dia mirip dengan
orang percaya itu. Namun,…kenapa diperlakukan sebagai pembantu? Menyebutkan
namanya dengan nada lantang sedikit melecehkan. Jika memang mengadopsi anak,
kenapa harus hingga lima? Kenapa ciptaan indah itu bukan di antara ketiga anak
yang ada di foto? Jika pun anak adopsi, mengapa perlakuan mereka sungguh sama
seperti anak kandung? Kenapa tidak ada yang menggubris tentang kejanggalan
keluarga ini? Apa mereka telah tahu sebelumnya dibandingkan penulis hingga
bukan merupakan hal yang perlu dibahas? Atau mereka tidak ingin menggosip
karena baru selesai ibadah?
‘Hmm.…’,
menghela napas. Begitu banyak pertanyaan untuk menebak teka-teki ini dari kesan
pertama penulis melihat situasi dalam sebuah keluarga orang percaya. Memang
nyata bila ada yang hidup beratapkan seng dan berlantaikan keramik. Yang membedakan
hanyalah luas dan sempitnya ruang itu. Walau penulis merasa tidak nyambung tapi
lebih bahagia yang hidupnya beratapkan langit dan beralaskan tanah karna
ruangan mereka lebih luas untuk bergerak.
Begitulah
teka-teki kehidupan. Tidak perlu tahu apa jawabnya dan kapan akan terjawabnya
pertanyaan yang penuh kata kenapa dan kenapa. Cukup berpikir positif menjalani
hidup sambil menunggu sampai tersenyum karna teka-teki telah terjawab. Dan tak
perlu tahu siapa penulis sebenarnya, sebab penulis juga teka-teki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar