PRASANGKA SOSIAL
ANTARGOLONGAN DAN
UPAYA UNTUK MENGURANGINYA
UPAYA UNTUK MENGURANGINYA
JOSAPAT SIMANGUNSONG
120801043
S1 FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun makalah “Prasangka Sosial Antargolongan dan Upaya Untuk Menguranginya” ini diselesaikan dengan tujuan sebagai pengganti Ujian Akhir
Semester dari mata kuliah Etika.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian makalah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
Medan, Juli 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………... 2
1.3
Tujuan dan Manfaat Penulisan...................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Prasangka Sosial..........................................................................4
2.2 Sumber Prasangka Sosial.............................................................................. 8
2.3 Ciri Pribadi Orang yang Berprasangka....................................................... 11
2.4
Upaya Untuk Mengurangi
Prasangka Sosial...............................................12
2.4.1 Sosialisasi............................................................................................ 12
2.4.2 Kontak Antarkelompok..................................................................... 13
2.4.3 Peran Pendidikan Tinggi................................................................... 15
2.4.4 Rekategorisasi..................................................................................... 16
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 19
3.2 Saran............................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial
yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap
golongan manusia lain tersebut. Attitude-attitude ini muncul karena dipelajari dan terbentuk pada manusia selama
perkembangannya bukan bawaan dari lahir. Prasangka sosial yang mula-mulanya hanya merupakan sikap-sikap dari perasaan
yang negatif itu, lambat-laun akan menyatakan bahwa dirinya berada dalam tindakan-tindakan
yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang
diprasangkai itu.
Tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif
pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif ini,
prasangka (prejudice) bisa pula menjadi
salah satu aspek paling destruktif dari perilaku manusia. Tindakan-tindakan diskriminatif
diartikan sebagai tindakan-tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan
perkembangannya, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang yang hanya karena
mereka kebetulan termasuk golongan yang diprasangkai itu.
Prasangka berkaitan dengan persepsi orang
tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap
mereka. Prasangka dapat menimbulkan efek yang mengerikan pada kelompok minoritas
yang berusaha menggunakan hak-haknya dan juga sering menimbulkan tindakan
kekerasan yang mengerikan.
Misalkan pada sebuah kasus di suatu
pengadilan, prasangka dapat menentukan siapa yang akan dimasukkan ke penjara
dan siapa yang akan dibebaskan. Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS)
juga terjadi prasangka. Prasangka yang paling buruk menimpa kelompok warga
kulit hitam Afrika Amerika. Ketika orang-orang Afrika dibawa ke Amerika,
sebagai budak, mereka diperlakukan sebagai properti. Bahkan setelah muncul
emansipasi, kebanyakan warga Afrika Amerika masih dalam sistem segregasi formal
Jim Crow. Orang kulit hitam sering digantung sampai mati tanpa pengadilan jika
mereka “melanggar garis batas” pada masa itu.
Prasangka tidak hanya terjadi pada kelompok etnis dan rasial. Misalkan pada
kelompok gay dan lesbian, mereka juga kerap merasakan akibat dari prasangka oleh
kelompok heteroseksual sehingga mereka harus menyembunyikan orientasi
seksualnya untuk melindungi dirinya.
Tak terlewatkan bangsa Indonesia yakni
negara hukum yang sering juga terjadi prasangka sosial pada seseorang, kelompok
kecil maupun kelompok besar. Seperti pada kelompok penggemar motor atau yang
dikenal sebagai geng motor. Warga memiliki prasangka pada setiap geng motor
sebagai kewaspadaan mereka. Karena biasanya geng motor berlaku kriminal.
Prasangka harus dikurangi agar tidak
berlebihan sehingga bisa menjadikan sesorang sebagai makhluk yang antisosial.
Pada makalah ini akan dibahas pula bagaimana mengetahui seseorang yang
berprasangka dengan orang lain melalui sikap dan wajahnya. Kemudian bagaimana
mengurangi sikap prasangka sosial ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini, penulis akan merumuskan masalah yang ada pada prasangka sosial, yaitu
dimulai dari :
1.
Apakah prasangka itu?
2.
Apa sajakah sumber prasangka yang menyebabkan
terjadinya muncul sebuah motif?
3.
Bagaimana ciri pribadi seseorang yang berprasangka?
4.
Apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi
prasangka?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Makalah ini ditulis bertujuan untuk
mengetahui pengertian dari prasangka, untuk mengetahui sumber prasangka itu,
untuk mengenali seseorang yang berprasangka pada orang lain atau kelompok lain,
dan untuk mengetahui upaya mengurangi prasangka itu.
Penulis berharap makalah ini
bermanfaat bagi pembaca untuk mampu mengendalikan prasangka atau pikiran yang negatif
pada lingkungan di sekitarnya dengan mempelajari beberapa aspek rumusan masalah
yang akan dibahas.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Prasangka
Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang bercorak
tindakan-tindakan diskriminatif terhadap segolongan manusia, tanpa terdapat
alasan-alasan yang objektif pada pribadi-pribadi orang itu satu per satu, yang
membenarkan tindakan-tindakan diskriminatif sedemikian itu, menunjukkan adanya
prasangka sosial pada seorang maupun kelompok.
Bahwasanya tindakan-tindakan diskriminatif yang
berdasarkan prasangka sosial merugikan masyarakat negara itu sendiri, karena sudah
jelas dengan adanya perkembangan potensi-potensi manusia masyarakat itu sendiri
jadi mudah diperhambat. Maka di beberapa negara-negara telah diusahakan untuk
mengubah dan menghilangkan prasangka-prasangka sosial yang picik dan yang
menghambat perkembangan masyarakat dengan wajar.
Prasangka merupakan komponen afektif atau komponen
evaluatif dari antagonisme kelompok. Prasangka adalah penilaian terhadap suatu
kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan
kelompok orang itu. Prasangka memiliki kualitas suka-tidak suka yang sama
dengan dimensi afektif atau evaluatif yang telah dibahas dalam kaitannya dengan
kesan dan sikap.
Tetapi prasangka memiliki kualitas tambahan berupa
penilaian pendahuluan (prejudgement).
Pengamat menilai orang lain berdasarkan kategori sosial atau kategori rasial
mereka dan tidak berdasarkan informasi atau fakta tentang diri mereka sebagai
individu. Karena itu, prasangka, sangat tidak masuk akal, dan bahkan mungkin
tidak logis atau tidak rasional.
Di samping itu, prasangka bisa menjadi evaluasi
negatif atas suatu kelompok atau seseorang berdasarkan pada keanggotaan orang
itu dalam suatu kelompok. Prasangka tidak hanya muncul pada sikap kelompok
lain, tetapi juga muncul karena adanya etnosentrisme.
Etnosentrisme adalah keyakinan bahwa in-group
lebih unggul ketimbang semua out-groups,
dan juga dapat memengaruhi evaluasi dari anggota in-group.
Sebelum dibahas semakin jauh, in-group adalah
kelompok sosial di mana individu mengidentifikasikan dirinya. Sifat-sifat in-group pada
umumnya didasarkan pada faktor simpati, dan selalu mempunyai perasaan dekat
dengan anggota-anggota kelompok.
Out-group adalah kelompok sosial yang
oleh individu diartikan sebagai lawan in-group-nya. Sifat out-group selalu
ditandai dengan sifat kelainan yang berwujud antagonisme dan antipati.
Manusia memiliki tendensi untuk mengevaluasi atribut-atribut
out-group secara lebih negatif
ketimbang atribut-atribut in-group.
Dalam sebuah eksperimen, mahasiswa kulit hitam dan putih mengevaluasi pelamar
kulit hitam ataupun kulit putih dan kemudian diminta menjelaskan mengapa
pelamar itu dipecat dari pekerjaan sebelumnya. Anggota kedua kelompok itu
memberikan evaluasi yang lebih positif terhadap pelamar yang berasal dari
sesama ras mereka ketimbang pelamar dari ras yang berbeda (Chatman & von
Hippel, 2001).
Kita cenderung memandang ini sebagai refleksi
prasangka terhadap kelompok lain. Tetapi, perbedaan kelompok ini tidak menunjukkan
peran dari prasangka. Kita hanya tahu bahwa kulit putih berbeda dari kulit
hitam. Untuk mengetahui peran prasangka secara lebih pasti, kita perlu
menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berprasangka memberikan
penilaian yang lebih buruk kepada pelamar kerja dari out-group.
Efek prasangka, sebagaimana stereotip, yang merupakan
gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang
golongan lain yang bercorak negatif, juga bersifat destruktif.
Stereotip mengenai orang lain itu sudah terbentuk pada
orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul
sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenakan prasangka itu. Biasanya
stereotip itu terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang
lengkap dan subjektif.
Stereotip tidak hanya mempengaruhi perilaku kita,
tetapi juga perilaku korban stereotip ketika kita berinteraksi dengan mereka.
Dalam hal ini, stereotip bisa menjadi dugaan pemuas diri. Langkah lanjut dari
proses ini bahkan lebih merusak. Anggota kelompok korban mulai melakukan
sesuatu sesuai dengan stereotip itu, menampilkan karakteristik yang sesuai
dengan isi stereotip tersebut.
Bila kita beranggapan bahwa adik kita adalah orang
yang canggung dalam berinteraksi dengan orang lain, kita akan mengharapkan
bahwa dia akan selalu bersikap canggung. Dan yang cukup mengejutkan, hal ini
meningkatkan kemungkinan bahwa dia akan menampilkan perilaku yang meembenarkan
stereotip tersebut.
Bila diterapkan pada stereotip, rangkaian dugaan
pemuas diri melibatkan empat tahap, yakni :
1. Stereotip (harapan) tentang bagaimana orang lain akan
berperilaku,
2. Perubahan perilaku pada diri penganut stereotip,
3. Menimbulkan perubahan perilaku pada diri orang yang
menjadi sasaran, dan
4. Persepsi tentang perilaku orang yang menjadi sasaran
sebagai penyesuaian terhadap stereotip dan bukan sebagai respons terhadap
perilaku si penganut stereotip.
Tidak hanya itu, dalam situasi lain, korban juga menampilkan
perilaku yang membenarkan stereotip tersebut, bahkan terhadap orang yang sama
sekali tidak tahu tentang stereotip itu. Jadi, dalam lingkungan yang netral
pun, dimana orang tidak mempunyai stereotip, korban prasangka tetap cenderung
menampilkan perilaku yang membenarkan stereotip tersebut.
Mungkin, akibat yang paling merusak adalah bahwa orang
yang menjadi sasaran akan menjadi yakin bahwa stereotip itu benar-benar sesuai
dengan dirinya. Singkatnya, tidak hanya perilaku penganut stereotip yang
dipengaruhi oleh harapan ini, tetapi perilaku dan persepsi-diri korban juga
akan mencerminkan stereotip.
Sehingga terbesit pertanyaan untuk kita, apakah
stereotip dan prasangka itu berbeda? Tentu saja keduanya berbeda. Stereotip adalah kognitif dan prasangka adalah
afektif. Perbedaan itu memang membantu untuk memahami masing-masing dari kedua
pengertian itu, namun keduanya merupakan campuran dari elemen kognisi dan afeksi
dalam kenyataannya.
Misalnya tentang persepsi pengidap AIDS. Orang yang
berprasangka terhadap gay kemungkinan mengingat label kelompok (misalnya,
“gay”) dan ciri stereotipnya (misalnya, “tidak bermoral”), dan mereka memberi
asosiasi afek negatif terhadap label kelompok itu. Kita dapat membedakan ciri
stereotip dari prasangka, tetapi dalam kenyataannya dua hal itu muncul
bersamaan (Dovidio, Brigham, Johnson, & Gaertner, 1996).
Akibatnya, kita tidak berusaha untuk membedakan secara
tegas antara prasangka dan stereotip. Stereotip dan prasangka sosial itu dapat
pula berubah, yaitu dengan usaha-usaha intensif secara langsung atau karena
perubahan keadaan masyarakat pada umumnya, misalnya karena peperangan,
revolusi, dan lain-lainnya.
Akan tetapi, perbedaan stereotip dan prasangka mungkin penting pada satu aspek, yakni adalah mungkin
bagi orang yang tidak berprasangka untuk menerima stereotip kultural umum meski
mereka tahu bahwa stereotip itu belum tentu benar (Devine & Elliot, 1995). Kebanyakan
studi menunjukkan bahwa orang yang sangat berprasangka adalah orang yang paling
mungkin menerima stereotip konvensional (Gordijn, Koomen, & Stapel, 2011).
Tampaknya mungkin bahwa stereotip yang tersebar luas
akan dikenal oleh hampir semua orang, entah mereka setuju dengan stereotip itu
atau tidak. Tetapi, stereotip yang lebih halus dan kurang lazim mungkin
diterima terutama oleh orang-orang yang sangat berprasangka dan paling suka
mencari-cari kekurangan para anggota dari kelompok lain (out-group).
2.2 Sumber
Prasangka Sosial
Dalam usaha untuk
menghindarkan tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial
itu, kiranya perlu sekali untuk sekadar mengetahui bagaimana terjadinya prasangka
sosial, dan apa sebab-sebabnya prasangka sosial itu dipertahankan orang yang
sudah berprasangka itu.
Seperti
yang sudah dibahas sebelumnya, attitude-attitude
itu tidak dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan, tetapi bermacam-macam attitude itu dipelajari dan terbentuk
pada manusia selama perkembangannya.
Anak-anak
kecil tidak mempunyai attitude-attitude,
tetapi ia memperolehnya pertama-tama dari orang tuanya dan keluarganya yang
merupakan kelompok primer (primary group)
baginya yang pertama-tama mendidiknya atau merupakan lingkungan sosial pertama
tempat anak itu berkembang sebagai makhluk sosial.
Demikian
pula halnya dengan prasangka sosial, yang tidak dibawa serta manusia sejak ia
dilahirkan, yang terbentuk selama perkembangannya, baik didikan atau dengan
cara identifikasi dengan orang-orang lain yang sudah berprasangka.
Dalam
bermacam-macam penelitian dan observasi-observasi tampak bahwa, misalnya, di
sekolah-sekolah internasional tidak terdapat sedikit pun prasangka sosial pada
anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan ras dan budaya itu.
Mereka baru akan memperolehnya di dalam perkembangannya apabila mereka bergaul
erat dengan orang-orang yang telah mempunyai prasangka sosial.
Dan
hal ini berlangsung dengan sendirinya pada taraf tidak sadar melalui
proses-proses imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, yang memegang
peranan utama di dalam interaksi sosial itu.
Bahkan
secara tidak sadar mereka lambat-laun mungkin memperoleh sikap-sikap tertentu
terhadap golongan-golongan tertentu, yang lama-kelamaan dapat pula melahirkan stereotip-stereotip. Dilihat dari
sudut psikologi perkembangan, terbentuknya prasangka sosial pada manusia itu
merupakan kelangsungan yang tidak berbeda dengan perkembangan attitude-attitude lainnya pada diri
manusia itu, kalau dan apabila anak-anak itu kebetulan bergaul erat dengan
orang-orang yang sudah berprasangka itu.
Terjadinya
prasangka sosial semacam ini dapat disebut pertumbuhan prasangka sosial dengan
tidak sadar dan yang berdasarkan kekurangan pengetahuan dan pengertian akan
fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang
dikenakan stereotip-stereotip itu, serta juga dapat berlangsung secara
terus-menerus sebagaimana digambarkan, sampai orang itu menjadi dewasa, dan
dengan demikian juga ikut memiliki sikap-sikap perasaan dan stereotip-stereotip
terhadap golongan-golongan tertentu, yang dapat digunakan oleh orang-orang yang
berkepentingan.
Berbicara
tentang kepentingan, ada faktor lainnya yang lebih mendasar sehubungan dengan
kepentingan dan yang dapat membentuk, mempertahankan serta memupuk prasangka
sosial dengan gigih yaitu faktor kepentingan perseorangan atau golongan
tertentu, yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila mereka memupuk
prasangka sosial itu. Prasangka sosial dengan demikian digunakan untuk
mengeksploitasi golongan-goongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau
golongan sendiri.
Hal
ini tampak pada zaman penjajahan ketika kaum penjajah menggunakan dan memupuk
prasangka- prasangka sosial antara golongan-golongan yang dijajah demi
keselamatan kelompoknya sendiri (devide
et impera). Contoh lainnya mengenai seorang Amerika yang tidak mempunyai
prasangka sosial terhadap orang Yahudi, tetapi yang menyatakan bahwa ia akan
menjadi antisemitis juga apabila pegawai atasannya mempunyai prasangka sosial
terhadap kaum Yahudi.
Selain
itu ada pula satu faktor yang dapat memupukkan adanya prasangka sosial seperti
yang dapat berkembang secara tidak sadar itu, yakni faktor ketidakinsafan akan
kerugian-kerugian masyarakat apabila prasangka itu dipupuk secara
terus-menerus, yang mudah terjelma ke dalam tindakan-tindakan diskriminatif.
Beberapa
kerugian itu, antara lain sebagai berikut : masyarakat sebagai keseluruhan
dapat dirugikan olehnya karena dengan demikian tidak semua potensi-potensinya
dapat dikembangkan demi meningkatkan perekonomiannya dengan sepenuh-penuhnya.
Tindakan diskriminatif terhadap golongan dapat menguntungkan golongan lain,
tetapi merugikan masyarakat sebagai keseluruhan.
Selain
itu tindakan diskriminatif menimbulkan konflik-konflik sosial yang memerlukan
usaha-usaha dan waktu tambahan bagi pemerintah untuk meredakannya. Usaha-usaha
dan waktu tersebut dapat dihemat dan dikerahkan bagi pekerjaan-pekerjaan yang
lebih produktif.
Prasangka
sosial terhadap golongan yang lain membuatnya mudah menimbulkan
halangan-halangan dalam pergaulan antargolongan dan kemudian dapat memecah
kerja sama yang wajar di antara golongan-golongan tersebut.
Pada
akhirnya prasangka sosial itu dapat menjadi outlet,
pelepasaan dari frustasi-frustasi yang dialami seseorang , lalu menjelma ke
dalam tindakan-tindakan agresif terhadap suatu golongan yang menjadi kambing
hitamnya, sehingga masyarakat mengalami pengacauan yang nyata.
Faktor
ketidakinsafan akan kerugian-kerugian masyarakat sendiri akibat prasangka
sosial itu, dapat pula menjadi sebab bahwa prasangka sosial itu dapat
berkembang terus-menerus. Apabila orang telah insaf akan kerugiannya dalam
memupuk prasangka sosial itu, orang akan berusaha menghilangkannya.
Dalam
hubungan ini terdapat pula serentetan kerugian pribadi yang tidak penulis
bicarakan pada tempat ini. Sekianlah beberapa penjelasan mengenai sumber,
terjadinya dan bertahannya prasangka sosial dalam bentuknya yang sadar maupun
yang tidak sadar.
2.3 Ciri Pribadi Orang yang Berprasangka
Perkembangan prasangka
sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi
terdapat pula beberapa faktor intern dari pribadi orang yang mempermudah
terbentuknya prasangka sosial padanya, khususnya terhadap golongan minoritas.
Menurut
beberapa penyelidikan psikologi, terdapat beberapa ciri pribadi orang yang
mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain :
1. Pada orang-orang yang berciri-ciri toleransi,
2. Memupuk khayalan-khayalan yang agresif,
3. Kurang mengenal akan dirinya sendiri lalu berikatan
kepada orang-orang yang kuat atau mayoritas,
4. Kurang berdaya cipta seperti menjiplak norma dan
tingkah laku mayoritas,
5. Tidak merasa aman sehingga adanya sikap penolakan
terhadap orang-orang yang lemah atau terhadap minoritas serta menimbulkan sikap
sombong, dan lain-lain.
Ciri-ciri
pribadi orang yang berprasangka
tadi terbentuk karena adanya didikan dari orang tua yang menuntut ketaatan
mutlak tanpa penjelasan dan senantiasa bersikap otoriter.
2.4 Upaya Untuk Mengurangi
Prasangka Sosial
Usaha-usaha mengurangi prasangka sosial
antargolongan itu kiranya jelas harus dimulai dengan berusaha mengurangi
kompetisi antarkelompok dengan meredistribusikan lapangan kerja, pendapatan,
kekayaan, perumahan, dan perawatan kesehatan.
Prasangka mungkin menurun jika
kebutuhan kelompok-kelompok yang berkompetisi itu bisa dipenuhi dengan lebih
baik, tetapi prasangka mungkin tidak bisa hilang karena ada konflik kepentingan
antarkelompok yang pasti tidak terelakkan. Usaha untuk membantu satu kelompok
sering kali akan mengorbankan kelompok lain dan mungkin menambah permusuhan.
Tidak akan pernah ada cukup sumber daya untuk
memuaskan semua orang. Jadi, psikolog beralih ke teknik lainnya.
2.4.1 Sosialisasi
Prasangka tampaknya dipelajari sejak masa kecil,
dan prasangka cenderung stabil selama bertahun-tahun (Sears & Levy, 2003).
Jadi, pendekatan lain untuk mereduksi prasangka adalah mengubah sosialisasi
awal, antara lain dimulai dari sosialisasi dengan keluarga, teman di lingkungan
menimba ilmu seperti sekolah atau kampus, dan lingkungan masyarakat sekitar.
Dahulu dianggap bahwa sosialisasi secara
alamiah akan membebaskan, jadi prasangka akan berkurang dengan sendirinya.
Setiap generasi baru memang semakin menjauhi rasisme gaya lama, yaitu keyakinan
tentang keunggulan kulit putih, segregasi, dan diskriminasi formal. Perubahan
ini disebabkan sebagian karena genersi muda tumbuh tanpa prasangka dan banyak
orang tua yang punya prasangka yang sudah meninggal (Firebaugh & Davis,
1988).
Sebagian dari penyebab perubahan
sosialisasi adalah sasaran dari prasangka itu juga berubah dan tidak lagi cocok
dengan stereotip lama. Misalnya, kesetaraan gender semakin meningkat selama
satu dekade terakhir ini sehingga wanita bisa menduduki posisi yang dahulu
hanya untuk pria. Akibatnya, orang makin tidak begitu memedulikan perbedaan
antara pria dan wanita dalam bidang-bidang yang dahulu hanya dianggap milik
pria, seperti di dunia “persaingan” atau “dunia pemecahan masalah” (Diekman
& Eagly, 2000). Namun, reduksi spontan tidak berarti melenyapkan prasangka.
2.4.2 Kontak Antarkelompok
Pendekatan lain terhadap pengurangan prasangka
adalah kontak antarkelompok secara langsung. Ada keyakinan bahwa kontak dapat
menghilangkan stereotip, dan kedekatan serta interaksi biasanya dapat
meningkatkan rasa suka. Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa
peningkatan kontak ras-ras dapat mengurangi antagonisme, prasangka, dan
stereotip.
Jika ketidaktahuan, lantaran kurangnya
kontak ras-ras, menimbulkan stereotip yang salah, maka kontak yang lebih banyak
semestinya akan menambah ketepatan persepsi dan mengurangi prasangka.
Beberapa studi klasik tentang efek
desegregasi menemukan bahwa kontak bisa mereduksi prasangka. Salah satu problem dalam penggunaan kontak sebagai
solusi mengatasi stereotip dan prasangka adalah kebanyakan individu yang
berprasangka tidak mau menjalin kontak, dan karenanya solusi ini sulit
dilakukan.
Kurangnya pengalaman positif dengan
anggota out-group dapat menimbulkan
ekspetasi negatif tentang seperti apa interaksi di masa depan, dan karenanya
menimbulkan “kecemasan antar-rasial” (Plant & Devine, 2003). Hal itu pada
gilirannya dapat menyebabkan seseorang menghindari kontak.
Tetapi bagaimana jika kontak antar ras-ras
benar-benar terjadi? Kebanyakan pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi faktor
krusial di sini adalah tipe kontak antar ras-ras spesifik, bukan kontak itu
sendiri. Oleh sebab itu, sebagian besar pakar menarik kesimpulan bahwa jenis
kontak tertentu merupakan faktor yang penting.
Teori yang paling banyak digunakan oleh
pakar psikologi sosial adalah teori kontak dari Allport (1954). Teori kontak
mengidentifikasikan empat kondisi spesifik yang mungkin membantu kontak
antarkelompok untuk mengurangi prasangka :
1. Interdepensi kooperatif dengan tujuan umum
adalah elemen utama dalam teori kontak.
Ini terdiri dari dua elemen : berinteraksi bersama dan berbagi hasil. Anggota
dua kelompok perlu bekerjasama dan memiliki tujuan yang sama yang pencapaiannya
lebih tergantung pada upaya bersama ketimbang pada persaingan memperebutkan
sumber daya langka.
2. Kontak juga harus terjadi di individu
dengan status yang sederajat. Jika ketidakseimbangan status masih ada,
stereotip tidak dapat dengan mudah dienyahkan. Biasanya, kontak antar ras
terjadi saat minoritas masuk ke lapangan kerja, sebagai mahasiswa atau magang,
atau dalam pekerjaan yang tidak diinginkan. Kontak jenis ini hanya akan
mengawetkan stereotip lama.
3. Kontak harus memiliki potensi pengenalan.
Frekuensinya harus cukup, durasinya cukup, dan kedekatannya juga cukup, agar
terjalin persahabatan. Kontak singkat dan jarang-jarang sulit diharapkan dapat
membantu mengurangi stereotip. Misalnya, kelompok heteroseksual yang melakukan
kontak sering, keterbukaan, dan kedekatan dengan kelompok gay dan lesbian adalah
syarat utama agar prasangka terhadap kaum itu dapat berkurang.
4. Harus ada dukungan institusional bagi
kontak tersebut. Orang-orang yang memegang otoritas harus mendukung kontak itu
dengaan tegas.
Seberapa lazimkah situasi kontak
antarakelompok yang optimal? Secara teori, menjadi rekan satu tim dalam tim
sepakbola atau sesama napi yang saling membantu melarikan diri (kerja sama
melarikan diri) atau membentuk tim inter-rasial untuk memecahkan soal statistik
di kelas akan membantu mengurangi prasangka. Hanya dengan menempatkan siswa
dalam kelompok yang berbeda dalam suatu kelas mungkin kurang berhasil.
Kontak antar ras yang bermanfaat akan
terjadi lebih sering saat ini ketimbang di masa lalu, seperti dalam situasi
pekerjaan. Tetapi di area kehidupan lainnya, kelompok etnis dan rasial yang
berbeda sering kali jarang saling menjalin kontak. Karenanya, kontak
antarkelompok bukan solusi mujarab.
Selain itu, penelitian dengan kelompok
kecil telah menyatakan bahwa interaksi antargolongan yang cukup intensif mampu
sekali melenyapkan stereotip dan prasangka sosial antargolongan itu.
Meskipun merupakan faktor yang paling
penting, kontak antarkelompok bukan satu-satunya faktor yang dapat mengurangi
prasangka. Keberhasilan usaha kerja sama juga penting. Bila orang saling
bahu-membahu dalam pertempuran, pertandingan, atau tugas kelas, dan hasilnya
buruk, mereka akan saling membenci dan semakin bermusuhan. Sejauh mana makna
penting keberhasilan dalam proses ini, belum jelas.
Tetapi jelas bahwa keberhasilan merupakan
unsur yang penting. Dan norma yang berlaku di masyarakat sekitar sangat
penting. Meskipun terjadi pengalaman antarras yang berhasil dalam suatu
lingkungan yang terbatas, orang akan tetap kembali ke kehidupan normalnya. Bila
kemudian mereka dikitari oleh orang-orang berprasangka, dengan cepat mereka
akan kembali berprasangka. Inilah salah satu kesulitan yang dihadapi dalam
usaha mencegah timbulnya prasangka.
2.4.3 Peran Pendidikan Tinggi
Pendidikan selalu menjadi salah satu harapan besar
bagi orang yang menginginkan adanya toleransi rasial yang lebih besar. Bila
stereotip dan prasangka didasarkan pada ketidakakuratan dan penyimpangan,
pengungkapan fakta akan dapat membantu. Dan tampaknya pendidikan bisa membantu
setidak-tidaknya pada tingkat pendidikan tinggi.
Orang yang pernah duduk di perguruan
tinggi biasanya memiliki prasangka yang lebih sedikit dibandingkan orang yang
tidak pernah. Tetapi alasan tepatnya belum jelas. Toleransi mereka yang lebih
besar dikaitkan dengan tingkat pendidikan mereka, bukan dengan aspek-aspek lain
dari status yang lebih tinggi.
Faktor penting yang menentukan pengaruh
pendidikan tinggi adalah adanya norma kelompok teman sebaya yang baru dan
perubahan sikap dari lingkungan itu pula. Mahasiswa yang menghabiskan sebagian
besar waktunya di rumah orangtuanya dan di kelilingi oleh teman masa
kanak-kanaknya akan dihadapkan pada lingkungan yang terdiri dari berbagai macam
orang dengan berbagai macam keyakinan.
Tidak mengherankan, keadaan ini
berpengaruh besar bagi mereka. Mereka mengubah sejumlah sikap yang telah mereka
anut sejak masa kanak-kanak, dan menilai kembali siakap yang lain berdasarkan
informasi yang baru.
Pada umumnya, sebagian besar sistem
keyakinan mereka mengalami pengaturan kembali. Dan dalam hal pendidikan
hendaknya dihindarkan pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan
prasangka-prasangka sosial. Terutama pengajaran yang memberi pengertian dan
kesadaran mengenai sebab-sebab terjadinya, dipertahankannya, dan mengenai
kerugian prasangka sosial bagi masyarakat sebagai keseluruhan dan bagi
anggota-angotanya. Pendidikan bisa membantu mengurangi prasangka, tetapi
pengaruhnya tidak konsisten, tidak dramatis, dan tidak cepat.
2.4.4 Rekategorisasi
Pendekatan utama lainnya difokuskan kepada basis
kognitif dari stereotip. Bahkan ketika ada kontak antara anggota in-goup dan out-group dan anggota out-group
ternyata tidak cocok dengan stereotip, tendensi ke arah pemrosesan berbasis
kategori masih kuat dan stereotip juga masih kuat.
Salah satu cara untuk mengatasi stereotip
dan mengurangi prasangka adalah merekategorisasikan anggota in-group dan out-group menjadi anggota satu kelompok yang lebih besar dan
inklusif.
Ketika pemain sepakbola dari dua tim berdoa
bersama di lapangan setelah usai pertandingan yang seru, itu sama saja berarti
mereka membentuk kelompok superordinat yakni kelompok penganut Kristen yang
taat yang tidak membeda-bedakan kelompok tim. Pembentukan kelompok superordinat
akan bergantung pada variabel situasi yang menonjol mereduksi kemenonjolan
keanggotaan kelompok. Penciptaan kelompok superordinat mungkin bisa membantu
kita membuang stereotip lama.
Rekategorisasi juga dapat mereduksi
prasangka dengan menonjolkan kategori silang. Jika beberapa anggota dari gereja
kita bermain bersama dalam satu tim sepakbola dari anggota gereja lain, maka
perbedaan sosial akan berkurang dan keduanya tidak condong pada favoritisme in-group.
Beberepa riset menunjukkan ada banyak
keinginan untuk membentuk identitas superordinat, setidaknya dalam term harmoni
antarkelompok. Misalnya, di AS, anggota kelompok minoritas etnis yang
mengidentifikasi dengan kultur superordinat cenderung menilai sudah ada
keadilan dalam term prosedur. Tetapi, mereka yang mengidentifikasi terutama
pada kelompok etnisnya sendiri kemungkinan besar melihat kesenjangan dalam
perebutan sumber daya.
Banyak negara modern berusaha mengakomodsi
berbagai macam kelompok. Pada saat yang sama, banyak negara yang melakukan
penyetaraan hak untuk semua kelompok. Usaha seperti ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Selama berabad-abad sejarah manusia, baru kali ada kesetaraan
semacam ini. Memang benar bahwa prasangka belumlah lenyap sama sekali. Namun,
kesulitan praktis untuk mengurangi prasangka tidak boleh mencegah kita untuk
berjuang mengatasi prasangka ini, karena ada alasan moral dan legal.
Mengurangi prasangka saat ini mungkin
lebih penting ketimbang di masa lalu. Tidak ada pendekatan tunggal yang bisa
memecahkan masalah ini. Antagonisme kelompok tampaknya masih merupakan aspek
fundamental dari kondisi manusia. Namun di negara-negara demokrasi, perlu untuk
diakui adanya harmoni dan toleransi kelompok yang cukup besar sehingga umat
manusia bisa hidup berdampingan secara sehat.
Khususnya bagi bangsa kita ini, yang sejak
kemerdekaannya telah mengalami pahitnya beberapa pemberontakan yang sebagian
besar turut disebabkan oleh, bahkan mungkin satu-satunya penyebabnya adanya
prasangka sosial karena masih terdapat akar-akar prasangka sosial antar
golongan akibat zaman kolonial.
Dan bangsa kita akan menghadapi masa depan
yang besar apabila seluruh potensi masyarakat dapat berkembang tanpa prasangka
sosial antargolongan, kiranya patut lebih berkenalan dengan gejala-gejala
prasangka sosial serta sebab-sebabnya.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prasangka merupakan komponen afektif atau komponen
evaluatif dari antagonisme kelompok. Prasangka adalah penilaian terhadap suatu
kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan
kelompok orang itu. Prasangka memiliki kualitas suka-tidak suka yang sama
dengan dimensi afektif atau evaluatif yang telah dibahas dalam kaitannya dengan
kesan dan sikap.
Sumber
prasangka bukan merupakan attitude
karena attitude-attitude itu tidak
dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan, tetapi bermacam-macam attitude itu dipelajari dan terbentuk
pada manusia selama perkembangannya seperti adanya kepentingan perseorangan
atau golongan tertentu, yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila
mereka memupuk prasangka sosial itu, adanya tindakan diskriminatif, adanya
ketidakinsafan akan kerugian-kerugian masyarakat yang mudah terjelma ke dalam
tindakan-tindakan diskriminatif.
Ciri
pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara
lain pada orang-orang yang berciri-ciri toleransi, memupuk khayalan-khayalan
yang agresif, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak
merasa aman, dan lain-lain.
Upaya untuk mengurangi prasangka sosial
adalah dengan melakukan sosialisasi, kontak antarkelompok, berpendidikan tinggi, dan rekategorisasi.
3.2 Saran
Sebaiknya usaha
mengurangi prasangka sosial ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
khususnya kepada golongan atau kelompok. Dan bisa mengetahui lebih spesifik
lagi tentang penyebab terjadinya prasangka sosial serta mampu mengembangkan
usaha mengurangi prasangka sosial saat ini.
Selain itu penulis juga menyarankan
agar pembaca mendalami pengertian kelompok in-group
dan out-group yang digunakan sebagai
sampel dari makalah ini dengan sebaik mungkin yang dapat mempermudah memahami
prasangka sosial antargolongan serta dijamin menjadi keuntungan tersendiri bagi
pembaca.
Untuk
penyempurnaan pembuatan makalah kedepannya, saya juga mengharapkan adanya saran
dari semua pihak baik dosen maupun
seluruh mahasiswa yang membaca makalah “Prasangka Sosial Antargolongan dan
Upaya Untuk Menguranginya” ini terhadap kekurangan yang terdapat pada makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gerungan, W.A. 1986. Psikologi Sosial.
Cetakan kesembilan. Bandung : PT. Eresco.
Sears, D.O.dkk. 1985. Psikologi Sosial. Jilid kedua. Edisi
kelima. Jakarta : Erlangga.
Taylor, S.E.dkk. 2009. Psikologi Sosial. Edisi keduabelas. Jakarta
: Erlangga.
kk.mercubuana.ac.id/files/61017-5-445630179417.doc
pukul 09.00
WIB, 08 Juli 2013
Lihat pula :
https://plus.google.com/?partnerid=ogpy0
http://www.youtube.com/results?nfpr=1&search_query=josapat+simangunsong
http://www.youtube.com/results?nfpr=1&search_query=josapat+simangunsong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar