Jumat, 30 Agustus 2013

SORE



Jumat, 30 Agustus 2013.
Pukul  14.45

Aku sedang menonton drama Korea “Dream High” kesukaanku sambil mengedit-edit fotoku. Kudengar suara kakakku dari luar. Langsung saja kubukakan pintu. Dia bersama dengan mamaku. Beginilah jikalau wajahku tak menyapa mamaku dengan senyuman. Tapi kurasa, tiap dia pulang aku jarang senyum. Dan kupikir itu tak masalah baginya.

Dia menyuruhku angkati jemuran karna mau hujan. Sebelumnya memang sudah hujan jadi kainnya sedikit basah. Tanpa menunggu, aku pun segera ke belakang buat ambil jemuran itu. Tapi apa yang kudapatkan?? Aku dimaki-maki mamaku. Dia membanting-banting tutup ember di depanku. Memang ini salahku yang meletakkan mereka di ember bekas pakai ngepel. Aku lupa akan itu. Dia bersikap seperti perfeksionis. Dia membedakan ember satu dengan ember yang lainnya. Sikapnya kali ini seperti kesetanan. Benaran deh…

Ya udah aku bisanya menggeram. Gimana enggak?? Kalau kulawan makin menjadi-jadi dia. Kesalahan kecil selalu ia besar-besarkan. Di kalimat emosinya, dia bilang begini percuma kau anak sarjana tapi membedakan mana ember bekas ngepel sama ember khusus baju pun gak bisa kau bedakan pantas IPmu dua komaaa terus!! Itu yang pertama. Kedua, aku paling ga bisa dengar kata malas padahal aku ga da bilang malas loh. Tumben-tumbennya pun aku langsung kerjain yang dia suruh tanpa bilang bentar mak, nanti mak, atau tunggu mak. Ketiga, Korea teruuusss Korea aja yang kau tonton pantas kau jadi bodoh. Dia bawa-bawa kesukaanku pada Korea padahal itu yang memotivasi aku untuk S2 di sana. 

Pokoknya kalau kalian di posisi aku, kalian ga bakal tahan deh. Aku aja ada niat mau minggat dari rumah tadi. Tapi sinetron kali rasaku. Jadinya kutahankan ajalah. Palingan rusak psikisku. Hal yang paling ga kusuka yah ini. Beberapa menit kemudian dengan rasa bersalah dia memanggilku lagi, Jo!! Dan begitu seterusnya, siap marah pasti baikan lagi seperti sebuah pertemanan. Tapi sampai kapan, yah.
Jenuh jiwaku.


Lihat pula :



Kamis, 29 Agustus 2013

Selokan Belakang Rumahku


Rabu, 28 Agustus 2013.
Pukul 17.15 WIB

Seperti biasanya aku, Josapat Simangunsong selesai menonton drama Korea “A Gentleman Dignity” di Indosiar, aku hanya bisa melakukan hal yang biasa pula kulakukan, yakni membodoh. Gak tau mau ngapain. Tapi ini hanya di saat liburanku. Jika aku kuliah maka aku akan sibuk dan mengerti akan apa yang mau kukerjakan. Dan tak sempat bagiku untuk menonton drama yang digila-gilai remaja masa kini.

Aduh sakit sekali jempolku akibat menyodok-nyodok saluran air yang tersumbat di kamar mandi dengan rotan semalam. Sakitnya masih sangat terasa hingga hari ini. Aku gak pernah berniat untuk membersihkan selokan belakang rumah hari ini. Akan tetapi, ibuku datang memberiku sebuah alat kerokan buat selokan. Setelah itu, dia kembali lagi kepada teman-temannya di kedai bahagianya.

Ya sudah daripada gak da kerjaan, pikirku. Aku kerjakan deh tugas mulia ini. Lagian akhir-akhir ini, kamar mandi kami bau bangkai karna dia tersumbat. Baru mendekati selokan, eh dilihat tetangga sebelah, dia minta dikerok juga. Hmmm, mau apa lagi yang dibilang ibu itu padaku ada benar juga. Kalau mengerok selokan dari ujung ke ujung biar lancar aliran airnya agar tidak disitu-situ saja tetapi mengalir hingga ke sungai. Jadi dari pojok kontrakan (3 blok dari rumahku ke kanan) sampai ke ujungnya (4 blok dari rumahku ke kiri). Ya elah, aku kan gak dibayar untuk hal semacam ini.

Kumulailah mengerok. Eeh, baru dua tiga kali kuayunkan kerokannya, pinggangku rasanya mau patah. Penyakit kakek-kakek, encok seperti kambuh. Maklumlah, ibuku yang menyuruh tulang untuk membuat alat ini. Alat yang terbuat dari besi!! Besinya aja dah sekilo beratnya (mungkiiinn) ditambah lagi selokan yang sudah tersumbat 5 tahun (lebaiku) yah, butuh tenaga yang ekstra. Mungkin 300.000 Joule (lebaiku lagi)??

Pokoknya capek banget dan sumpah demi apa selokan aku tuh bau, sangat sangat bau. Lebih dari bau bangkai. Seperti bau kekalahan. Untungnya sih si ibu ini mau bantui aku. Jadi yah gak begitu capeklah. Dikurang 100.000 Joule (lagi lebaiku lagi ) sama dia. Keringat kami bercucuran seperti air mata. Kalau ibu itu bilang mau beranak ngerokinnya. Huft…akhirnya pekerjaan kami selesai jam tengah 7. Jari jemariku yang biasanya kugunakan untuk membalas pemberitahuan atau mentionnya teman-teman jadi lecet-lecet karenanya.

ini selokan yang aku maksud

Catatan : Pelajaran yang kupetik adalah sebaiknya untuk mengerok selokan yang tak pernah dibersihkan sejak 5 tahun (lagi lebaiku lagi-lagi) itu tidak boleh hanya dengan satu atau dua alat kerokan, melainkan …..berpikir….. 6 saja deh. Itu sudah cukup. Nah, berarti harus ada 6 orang juga dong?? Pas dengan jumlah rumah kontrakan kami.

Maksudnya, berapa nilai kewarganegaraan ketika kita SD?? 8?? 9?? Atau 10?? Tapi kenapa kisah warga Kelurahan Bojong Kenyot sedang bekerja bakti untuk membersihkan lingkungan itu sepertinya telah hilang?? Hanya teori saja. Aku tinggal di suatu kelurahan di tengah kota yang tidak ada ajang bekerja bakti. Mana rasa gotong-royongmu??

Urusin hal yang kecil dulu deh kalau mau jadi yang besar!! 

Lihat pula :

Selasa, 13 Agustus 2013

Makalah PRASANGKA SOSIAL ANTARGOLONGAN DAN UPAYA UNTUK MENGURANGINYA sebagai tugas ETIKA


PRASANGKA SOSIAL ANTARGOLONGAN DAN
UPAYA UNTUK MENGURANGINYA


JOSAPAT SIMANGUNSONG
120801043



S1 FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013






KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

            Adapun makalah “Prasangka Sosial Antargolongan dan Upaya Untuk Menguranginya” ini diselesaikan dengan tujuan sebagai pengganti Ujian Akhir Semester dari mata kuliah Etika.

            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

            Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.     


Medan, Juli 2013




                                                                                                                                                        Penulis






DAFTAR ISI
  
KATA PENGANTAR...........................................................................................   i
     
DAFTAR ISI........................................................................................................   ii

BAB 1 PENDAHULUAN  
1.1   Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
1.2   Rumusan Masalah…………………………………………………………...    2
1.3   Tujuan dan Manfaat Penulisan...................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Prasangka Sosial..........................................................................4
2.2 Sumber Prasangka Sosial.............................................................................. 8
2.3 Ciri Pribadi Orang yang Berprasangka....................................................... 11
2.4  Upaya Untuk Mengurangi Prasangka Sosial...............................................12
2.4.1 Sosialisasi............................................................................................   12
2.4.2 Kontak Antarkelompok.....................................................................    13
2.4.3 Peran Pendidikan Tinggi...................................................................     15
2.4.4 Rekategorisasi.....................................................................................   16

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 19
3.2 Saran............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA





BAB 1

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang Masalah

Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tersebut. Attitude-attitude ini muncul karena dipelajari dan terbentuk pada manusia selama perkembangannya bukan bawaan dari lahir. Prasangka sosial yang mula-mulanya hanya merupakan sikap-sikap dari perasaan yang negatif itu, lambat-laun akan menyatakan bahwa dirinya berada dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu.

Tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif ini, prasangka (prejudice) bisa pula menjadi salah satu aspek paling destruktif dari perilaku manusia. Tindakan-tindakan diskriminatif diartikan sebagai tindakan-tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangannya, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang yang hanya karena mereka kebetulan termasuk golongan yang diprasangkai itu.

Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Prasangka dapat menimbulkan efek yang mengerikan pada kelompok minoritas yang berusaha menggunakan hak-haknya dan juga sering menimbulkan tindakan kekerasan yang mengerikan.

Misalkan pada sebuah kasus di suatu pengadilan, prasangka dapat menentukan siapa yang akan dimasukkan ke penjara dan siapa yang akan dibebaskan. Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) juga terjadi prasangka. Prasangka yang paling buruk menimpa kelompok warga kulit hitam Afrika Amerika. Ketika orang-orang Afrika dibawa ke Amerika, sebagai budak, mereka diperlakukan sebagai properti. Bahkan setelah muncul emansipasi, kebanyakan warga Afrika Amerika masih dalam sistem segregasi formal Jim Crow. Orang kulit hitam sering digantung sampai mati tanpa pengadilan jika mereka “melanggar garis batas” pada masa itu.

Prasangka tidak hanya terjadi pada  kelompok etnis dan rasial. Misalkan pada kelompok gay dan lesbian, mereka juga kerap merasakan akibat dari prasangka oleh kelompok heteroseksual sehingga mereka harus menyembunyikan orientasi seksualnya untuk melindungi dirinya.

Tak terlewatkan bangsa Indonesia yakni negara hukum yang sering juga terjadi prasangka sosial pada seseorang, kelompok kecil maupun kelompok besar. Seperti pada kelompok penggemar motor atau yang dikenal sebagai geng motor. Warga memiliki prasangka pada setiap geng motor sebagai kewaspadaan mereka. Karena biasanya geng motor berlaku kriminal.

Prasangka harus dikurangi agar tidak berlebihan sehingga bisa menjadikan sesorang sebagai makhluk yang antisosial. Pada makalah ini akan dibahas pula bagaimana mengetahui seseorang yang berprasangka dengan orang lain melalui sikap dan wajahnya. Kemudian bagaimana mengurangi sikap prasangka sosial ini.


1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penulis akan merumuskan masalah yang ada pada prasangka sosial, yaitu dimulai dari :
1.      Apakah prasangka itu?
2.      Apa sajakah sumber prasangka yang menyebabkan terjadinya muncul sebuah motif?
3.      Bagaimana ciri pribadi seseorang yang berprasangka?
4.      Apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi prasangka?


1.3  Tujuan dan Manfaat Penulisan

            Makalah ini ditulis bertujuan untuk mengetahui pengertian dari prasangka, untuk mengetahui sumber prasangka itu, untuk mengenali seseorang yang berprasangka pada orang lain atau kelompok lain, dan untuk mengetahui upaya mengurangi prasangka itu.

            Penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca untuk mampu mengendalikan prasangka atau pikiran yang negatif pada lingkungan di sekitarnya dengan mempelajari beberapa aspek rumusan masalah yang akan dibahas. 




BAB 2

PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Prasangka

Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang bercorak tindakan-tindakan diskriminatif terhadap segolongan manusia, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi-pribadi orang itu satu per satu, yang membenarkan tindakan-tindakan diskriminatif sedemikian itu, menunjukkan adanya prasangka sosial pada seorang maupun kelompok.

Bahwasanya tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial merugikan masyarakat negara itu sendiri, karena sudah jelas dengan adanya perkembangan potensi-potensi manusia masyarakat itu sendiri jadi mudah diperhambat. Maka di beberapa negara-negara telah diusahakan untuk mengubah dan menghilangkan prasangka-prasangka sosial yang picik dan yang menghambat perkembangan masyarakat dengan wajar.

Prasangka merupakan komponen afektif atau komponen evaluatif dari antagonisme kelompok. Prasangka adalah penilaian terhadap suatu kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok orang itu. Prasangka memiliki kualitas suka-tidak suka yang sama dengan dimensi afektif atau evaluatif yang telah dibahas dalam kaitannya dengan kesan dan sikap.

Tetapi prasangka memiliki kualitas tambahan berupa penilaian pendahuluan (prejudgement). Pengamat menilai orang lain berdasarkan kategori sosial atau kategori rasial mereka dan tidak berdasarkan informasi atau fakta tentang diri mereka sebagai individu. Karena itu, prasangka, sangat tidak masuk akal, dan bahkan mungkin tidak logis atau tidak rasional.

Di samping itu, prasangka bisa menjadi evaluasi negatif atas suatu kelompok atau seseorang berdasarkan pada keanggotaan orang itu dalam suatu kelompok. Prasangka tidak hanya muncul pada sikap kelompok lain, tetapi juga muncul karena adanya etnosentrisme. Etnosentrisme adalah keyakinan bahwa in-group lebih unggul ketimbang semua out-groups, dan juga dapat memengaruhi evaluasi dari anggota in-group.

Sebelum dibahas semakin jauh, in-group adalah kelompok sosial di mana individu mengidentifikasikan dirinya. Sifat-sifat in-group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati, dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok.

Out-group adalah kelompok sosial yang oleh individu diartikan sebagai lawan in-group-nya. Sifat out-group selalu ditandai dengan sifat kelainan yang berwujud antagonisme dan antipati.

Manusia memiliki tendensi untuk mengevaluasi atribut-atribut out-group secara lebih negatif ketimbang atribut-atribut in-group. Dalam sebuah eksperimen, mahasiswa kulit hitam dan putih mengevaluasi pelamar kulit hitam ataupun kulit putih dan kemudian diminta menjelaskan mengapa pelamar itu dipecat dari pekerjaan sebelumnya. Anggota kedua kelompok itu memberikan evaluasi yang lebih positif terhadap pelamar yang berasal dari sesama ras mereka ketimbang pelamar dari ras yang berbeda (Chatman & von Hippel, 2001).

Kita cenderung memandang ini sebagai refleksi prasangka terhadap kelompok lain. Tetapi, perbedaan kelompok ini tidak menunjukkan peran dari prasangka. Kita hanya tahu bahwa kulit putih berbeda dari kulit hitam. Untuk mengetahui peran prasangka secara lebih pasti, kita perlu menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang berprasangka memberikan penilaian yang lebih buruk kepada pelamar kerja dari out-group.

Efek prasangka, sebagaimana stereotip, yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif, juga bersifat destruktif.

Stereotip mengenai orang lain itu sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenakan prasangka itu. Biasanya stereotip itu terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif.

Stereotip tidak hanya mempengaruhi perilaku kita, tetapi juga perilaku korban stereotip ketika kita berinteraksi dengan mereka. Dalam hal ini, stereotip bisa menjadi dugaan pemuas diri. Langkah lanjut dari proses ini bahkan lebih merusak. Anggota kelompok korban mulai melakukan sesuatu sesuai dengan stereotip itu, menampilkan karakteristik yang sesuai dengan isi stereotip tersebut.

Bila kita beranggapan bahwa adik kita adalah orang yang canggung dalam berinteraksi dengan orang lain, kita akan mengharapkan bahwa dia akan selalu bersikap canggung. Dan yang cukup mengejutkan, hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa dia akan menampilkan perilaku yang meembenarkan stereotip tersebut.

Bila diterapkan pada stereotip, rangkaian dugaan pemuas diri melibatkan empat tahap, yakni :
1.      Stereotip (harapan) tentang bagaimana orang lain akan berperilaku,
2.      Perubahan perilaku pada diri penganut stereotip,
3.      Menimbulkan perubahan perilaku pada diri orang yang menjadi sasaran, dan
4.      Persepsi tentang perilaku orang yang menjadi sasaran sebagai penyesuaian terhadap stereotip dan bukan sebagai respons terhadap perilaku si penganut stereotip.

Tidak hanya itu, dalam situasi lain, korban juga menampilkan perilaku yang membenarkan stereotip tersebut, bahkan terhadap orang yang sama sekali tidak tahu tentang stereotip itu. Jadi, dalam lingkungan yang netral pun, dimana orang tidak mempunyai stereotip, korban prasangka tetap cenderung menampilkan perilaku yang membenarkan stereotip tersebut.

Mungkin, akibat yang paling merusak adalah bahwa orang yang menjadi sasaran akan menjadi yakin bahwa stereotip itu benar-benar sesuai dengan dirinya. Singkatnya, tidak hanya perilaku penganut stereotip yang dipengaruhi oleh harapan ini, tetapi perilaku dan persepsi-diri korban juga akan mencerminkan stereotip.

Sehingga terbesit pertanyaan untuk kita, apakah stereotip dan prasangka itu berbeda? Tentu saja keduanya berbeda. Stereotip adalah kognitif dan prasangka adalah afektif. Perbedaan itu memang membantu untuk memahami masing-masing dari kedua pengertian itu, namun keduanya merupakan campuran dari elemen kognisi dan afeksi dalam kenyataannya.

Misalnya tentang persepsi pengidap AIDS. Orang yang berprasangka terhadap gay kemungkinan mengingat label kelompok (misalnya, “gay”) dan ciri stereotipnya (misalnya, “tidak bermoral”), dan mereka memberi asosiasi afek negatif terhadap label kelompok itu. Kita dapat membedakan ciri stereotip dari prasangka, tetapi dalam kenyataannya dua hal itu muncul bersamaan (Dovidio, Brigham, Johnson, & Gaertner, 1996).

Akibatnya, kita tidak berusaha untuk membedakan secara tegas antara prasangka dan stereotip. Stereotip dan prasangka sosial itu dapat pula berubah, yaitu dengan usaha-usaha intensif secara langsung atau karena perubahan keadaan masyarakat pada umumnya, misalnya karena peperangan, revolusi, dan lain-lainnya.

Akan tetapi, perbedaan stereotip dan prasangka mungkin penting pada satu aspek, yakni adalah mungkin bagi orang yang tidak berprasangka untuk menerima stereotip kultural umum meski mereka tahu bahwa stereotip itu belum tentu benar (Devine & Elliot, 1995). Kebanyakan studi menunjukkan bahwa orang yang sangat berprasangka adalah orang yang paling mungkin menerima stereotip konvensional (Gordijn, Koomen, & Stapel, 2011).

Tampaknya mungkin bahwa stereotip yang tersebar luas akan dikenal oleh hampir semua orang, entah mereka setuju dengan stereotip itu atau tidak. Tetapi, stereotip yang lebih halus dan kurang lazim mungkin diterima terutama oleh orang-orang yang sangat berprasangka dan paling suka mencari-cari kekurangan para anggota dari kelompok lain (out-group).


2.2  Sumber Prasangka Sosial

Dalam usaha untuk menghindarkan tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial itu, kiranya perlu sekali untuk sekadar mengetahui bagaimana terjadinya prasangka sosial, dan apa sebab-sebabnya prasangka sosial itu dipertahankan orang yang sudah berprasangka itu.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, attitude-attitude itu tidak dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan, tetapi bermacam-macam attitude itu dipelajari dan terbentuk pada manusia selama perkembangannya.

Anak-anak kecil tidak mempunyai attitude-attitude, tetapi ia memperolehnya pertama-tama dari orang tuanya dan keluarganya yang merupakan kelompok primer (primary group) baginya yang pertama-tama mendidiknya atau merupakan lingkungan sosial pertama tempat anak itu berkembang sebagai makhluk sosial.

Demikian pula halnya dengan prasangka sosial, yang tidak dibawa serta manusia sejak ia dilahirkan, yang terbentuk selama perkembangannya, baik didikan atau dengan cara identifikasi dengan orang-orang lain yang sudah berprasangka.

Dalam bermacam-macam penelitian dan observasi-observasi tampak bahwa, misalnya, di sekolah-sekolah internasional tidak terdapat sedikit pun prasangka sosial pada anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan ras dan budaya itu. Mereka baru akan memperolehnya di dalam perkembangannya apabila mereka bergaul erat dengan orang-orang yang telah mempunyai prasangka sosial.

Dan hal ini berlangsung dengan sendirinya pada taraf tidak sadar melalui proses-proses imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, yang memegang peranan utama di dalam interaksi sosial itu.

Bahkan secara tidak sadar mereka lambat-laun mungkin memperoleh sikap-sikap tertentu terhadap golongan-golongan tertentu, yang lama-kelamaan dapat pula  melahirkan stereotip-stereotip. Dilihat dari sudut psikologi perkembangan, terbentuknya prasangka sosial pada manusia itu merupakan kelangsungan yang tidak berbeda dengan perkembangan attitude-attitude lainnya pada diri manusia itu, kalau dan apabila anak-anak itu kebetulan bergaul erat dengan orang-orang yang sudah berprasangka itu.

Terjadinya prasangka sosial semacam ini dapat disebut pertumbuhan prasangka sosial dengan tidak sadar dan yang berdasarkan kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang dikenakan stereotip-stereotip itu, serta juga dapat berlangsung secara terus-menerus sebagaimana digambarkan, sampai orang itu menjadi dewasa, dan dengan demikian juga ikut memiliki sikap-sikap perasaan dan stereotip-stereotip terhadap golongan-golongan tertentu, yang dapat digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan.

Berbicara tentang kepentingan, ada faktor lainnya yang lebih mendasar sehubungan dengan kepentingan dan yang dapat membentuk, mempertahankan serta memupuk prasangka sosial dengan gigih yaitu faktor kepentingan perseorangan atau golongan tertentu, yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila mereka memupuk prasangka sosial itu. Prasangka sosial dengan demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongan-goongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri.

Hal ini tampak pada zaman penjajahan ketika kaum penjajah menggunakan dan memupuk prasangka- prasangka sosial antara golongan-golongan yang dijajah demi keselamatan kelompoknya sendiri (devide et impera). Contoh lainnya mengenai seorang Amerika yang tidak mempunyai prasangka sosial terhadap orang Yahudi, tetapi yang menyatakan bahwa ia akan menjadi antisemitis juga apabila pegawai atasannya mempunyai prasangka sosial terhadap kaum Yahudi.

Selain itu ada pula satu faktor yang dapat memupukkan adanya prasangka sosial seperti yang dapat berkembang secara tidak sadar itu, yakni faktor ketidakinsafan akan kerugian-kerugian masyarakat apabila prasangka itu dipupuk secara terus-menerus, yang mudah terjelma ke dalam tindakan-tindakan diskriminatif.

Beberapa kerugian itu, antara lain sebagai berikut : masyarakat sebagai keseluruhan dapat dirugikan olehnya karena dengan demikian tidak semua potensi-potensinya dapat dikembangkan demi meningkatkan perekonomiannya dengan sepenuh-penuhnya. Tindakan diskriminatif terhadap golongan dapat menguntungkan golongan lain, tetapi merugikan masyarakat sebagai keseluruhan.

Selain itu tindakan diskriminatif menimbulkan konflik-konflik sosial yang memerlukan usaha-usaha dan waktu tambahan bagi pemerintah untuk meredakannya. Usaha-usaha dan waktu tersebut dapat dihemat dan dikerahkan bagi pekerjaan-pekerjaan yang lebih produktif.

Prasangka sosial terhadap golongan yang lain membuatnya mudah menimbulkan halangan-halangan dalam pergaulan antargolongan dan kemudian dapat memecah kerja sama yang wajar di antara golongan-golongan tersebut.

Pada akhirnya prasangka sosial itu dapat menjadi outlet, pelepasaan dari frustasi-frustasi yang dialami seseorang , lalu menjelma ke dalam tindakan-tindakan agresif terhadap suatu golongan yang menjadi kambing hitamnya, sehingga masyarakat mengalami pengacauan yang nyata.

Faktor ketidakinsafan akan kerugian-kerugian masyarakat sendiri akibat prasangka sosial itu, dapat pula menjadi sebab bahwa prasangka sosial itu dapat berkembang terus-menerus. Apabila orang telah insaf akan kerugiannya dalam memupuk prasangka sosial itu, orang akan berusaha menghilangkannya.

Dalam hubungan ini terdapat pula serentetan kerugian pribadi yang tidak penulis bicarakan pada tempat ini. Sekianlah beberapa penjelasan mengenai sumber, terjadinya dan bertahannya prasangka sosial dalam bentuknya yang sadar maupun yang tidak sadar.


2.3 Ciri Pribadi Orang yang Berprasangka

Perkembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa faktor intern dari pribadi orang yang mempermudah terbentuknya prasangka sosial padanya, khususnya terhadap golongan minoritas.

Menurut beberapa penyelidikan psikologi, terdapat beberapa ciri pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain :
1.      Pada orang-orang yang berciri-ciri toleransi,
2.      Memupuk khayalan-khayalan yang agresif,
3.      Kurang mengenal akan dirinya sendiri lalu berikatan kepada orang-orang yang kuat atau mayoritas,
4.      Kurang berdaya cipta seperti menjiplak norma dan tingkah laku mayoritas,
5.      Tidak merasa aman sehingga adanya sikap penolakan terhadap orang-orang yang lemah atau terhadap minoritas serta menimbulkan sikap sombong,  dan lain-lain.

Ciri-ciri pribadi orang yang berprasangka tadi terbentuk karena adanya didikan dari orang tua yang menuntut ketaatan mutlak tanpa penjelasan dan senantiasa bersikap otoriter.

                                                                       



          
2.4  Upaya Untuk Mengurangi Prasangka Sosial

Usaha-usaha mengurangi prasangka sosial antargolongan itu kiranya jelas harus dimulai dengan berusaha mengurangi kompetisi antarkelompok dengan meredistribusikan lapangan kerja, pendapatan, kekayaan, perumahan, dan perawatan kesehatan.

Prasangka mungkin menurun jika kebutuhan kelompok-kelompok yang berkompetisi itu bisa dipenuhi dengan lebih baik, tetapi prasangka mungkin tidak bisa hilang karena ada konflik kepentingan antarkelompok yang pasti tidak terelakkan. Usaha untuk membantu satu kelompok sering kali akan mengorbankan kelompok lain dan mungkin menambah permusuhan. Tidak akan pernah ada cukup sumber daya untuk  memuaskan semua orang. Jadi, psikolog beralih ke teknik lainnya.


2.4.1 Sosialisasi

Prasangka tampaknya dipelajari sejak masa kecil, dan prasangka cenderung stabil selama bertahun-tahun (Sears & Levy, 2003). Jadi, pendekatan lain untuk mereduksi prasangka adalah mengubah sosialisasi awal, antara lain dimulai dari sosialisasi dengan keluarga, teman di lingkungan menimba ilmu seperti sekolah atau kampus, dan lingkungan masyarakat sekitar.

Dahulu dianggap bahwa sosialisasi secara alamiah akan membebaskan, jadi prasangka akan berkurang dengan sendirinya. Setiap generasi baru memang semakin menjauhi rasisme gaya lama, yaitu keyakinan tentang keunggulan kulit putih, segregasi, dan diskriminasi formal. Perubahan ini disebabkan sebagian karena genersi muda tumbuh tanpa prasangka dan banyak orang tua yang punya prasangka yang sudah meninggal (Firebaugh & Davis, 1988).

Sebagian dari penyebab perubahan sosialisasi adalah sasaran dari prasangka itu juga berubah dan tidak lagi cocok dengan stereotip lama. Misalnya, kesetaraan gender semakin meningkat selama satu dekade terakhir ini sehingga wanita bisa menduduki posisi yang dahulu hanya untuk pria. Akibatnya, orang makin tidak begitu memedulikan perbedaan antara pria dan wanita dalam bidang-bidang yang dahulu hanya dianggap milik pria, seperti di dunia “persaingan” atau “dunia pemecahan masalah” (Diekman & Eagly, 2000). Namun, reduksi spontan tidak berarti melenyapkan prasangka.


2.4.2 Kontak Antarkelompok

Pendekatan lain terhadap pengurangan prasangka adalah kontak antarkelompok secara langsung. Ada keyakinan bahwa kontak dapat menghilangkan stereotip, dan kedekatan serta interaksi biasanya dapat meningkatkan rasa suka. Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa peningkatan kontak ras-ras dapat mengurangi antagonisme, prasangka, dan stereotip.

Jika ketidaktahuan, lantaran kurangnya kontak ras-ras, menimbulkan stereotip yang salah, maka kontak yang lebih banyak semestinya akan menambah ketepatan persepsi dan mengurangi prasangka.

Beberapa studi klasik tentang efek desegregasi menemukan bahwa kontak bisa mereduksi prasangka. Salah satu problem dalam penggunaan kontak sebagai solusi mengatasi stereotip dan prasangka adalah kebanyakan individu yang berprasangka tidak mau menjalin kontak, dan karenanya solusi ini sulit dilakukan.

Kurangnya pengalaman positif dengan anggota out-group dapat menimbulkan ekspetasi negatif tentang seperti apa interaksi di masa depan, dan karenanya menimbulkan “kecemasan antar-rasial” (Plant & Devine, 2003). Hal itu pada gilirannya dapat menyebabkan seseorang menghindari kontak.

Tetapi bagaimana jika kontak antar ras-ras benar-benar terjadi? Kebanyakan pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi faktor krusial di sini adalah tipe kontak antar ras-ras spesifik, bukan kontak itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagian besar pakar menarik kesimpulan bahwa jenis kontak tertentu merupakan faktor yang penting.

Teori yang paling banyak digunakan oleh pakar psikologi sosial adalah teori kontak dari Allport (1954). Teori kontak mengidentifikasikan empat kondisi spesifik yang mungkin membantu kontak antarkelompok untuk mengurangi prasangka :
1.      Interdepensi kooperatif dengan tujuan umum adalah elemen utama dalam teori  kontak. Ini terdiri dari dua elemen : berinteraksi bersama dan berbagi hasil. Anggota dua kelompok perlu bekerjasama dan memiliki tujuan yang sama yang pencapaiannya lebih tergantung pada upaya bersama ketimbang pada persaingan memperebutkan sumber daya langka.
2.      Kontak juga harus terjadi di individu dengan status yang sederajat. Jika ketidakseimbangan status masih ada, stereotip tidak dapat dengan mudah dienyahkan. Biasanya, kontak antar ras terjadi saat minoritas masuk ke lapangan kerja, sebagai mahasiswa atau magang, atau dalam pekerjaan yang tidak diinginkan. Kontak jenis ini hanya akan mengawetkan stereotip lama.
3.      Kontak harus memiliki potensi pengenalan. Frekuensinya harus cukup, durasinya cukup, dan kedekatannya juga cukup, agar terjalin persahabatan. Kontak singkat dan jarang-jarang sulit diharapkan dapat membantu mengurangi stereotip. Misalnya, kelompok heteroseksual yang melakukan kontak sering, keterbukaan, dan kedekatan dengan kelompok gay dan lesbian adalah syarat utama agar prasangka terhadap kaum itu dapat berkurang.
4.      Harus ada dukungan institusional bagi kontak tersebut. Orang-orang yang memegang otoritas harus mendukung kontak itu dengaan tegas.

Seberapa lazimkah situasi kontak antarakelompok yang optimal? Secara teori, menjadi rekan satu tim dalam tim sepakbola atau sesama napi yang saling membantu melarikan diri (kerja sama melarikan diri) atau membentuk tim inter-rasial untuk memecahkan soal statistik di kelas akan membantu mengurangi prasangka. Hanya dengan menempatkan siswa dalam kelompok yang berbeda dalam suatu kelas mungkin kurang berhasil.



Kontak antar ras yang bermanfaat akan terjadi lebih sering saat ini ketimbang di masa lalu, seperti dalam situasi pekerjaan. Tetapi di area kehidupan lainnya, kelompok etnis dan rasial yang berbeda sering kali jarang saling menjalin kontak. Karenanya, kontak antarkelompok bukan solusi mujarab.

Selain itu, penelitian dengan kelompok kecil telah menyatakan bahwa interaksi antargolongan yang cukup intensif mampu sekali melenyapkan stereotip dan prasangka sosial antargolongan itu.

Meskipun merupakan faktor yang paling penting, kontak antarkelompok bukan satu-satunya faktor yang dapat mengurangi prasangka. Keberhasilan usaha kerja sama juga penting. Bila orang saling bahu-membahu dalam pertempuran, pertandingan, atau tugas kelas, dan hasilnya buruk, mereka akan saling membenci dan semakin bermusuhan. Sejauh mana makna penting keberhasilan dalam proses ini, belum jelas.

Tetapi jelas bahwa keberhasilan merupakan unsur yang penting. Dan norma yang berlaku di masyarakat sekitar sangat penting. Meskipun terjadi pengalaman antarras yang berhasil dalam suatu lingkungan yang terbatas, orang akan tetap kembali ke kehidupan normalnya. Bila kemudian mereka dikitari oleh orang-orang berprasangka, dengan cepat mereka akan kembali berprasangka. Inilah salah satu kesulitan yang dihadapi dalam usaha mencegah timbulnya prasangka.


2.4.3 Peran Pendidikan Tinggi

Pendidikan selalu menjadi salah satu harapan besar bagi orang yang menginginkan adanya toleransi rasial yang lebih besar. Bila stereotip dan prasangka didasarkan pada ketidakakuratan dan penyimpangan, pengungkapan fakta akan dapat membantu. Dan tampaknya pendidikan bisa membantu setidak-tidaknya pada tingkat pendidikan tinggi.


Orang yang pernah duduk di perguruan tinggi biasanya memiliki prasangka yang lebih sedikit dibandingkan orang yang tidak pernah. Tetapi alasan tepatnya belum jelas. Toleransi mereka yang lebih besar dikaitkan dengan tingkat pendidikan mereka, bukan dengan aspek-aspek lain dari status yang lebih tinggi.

Faktor penting yang menentukan pengaruh pendidikan tinggi adalah adanya norma kelompok teman sebaya yang baru dan perubahan sikap dari lingkungan itu pula. Mahasiswa yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah orangtuanya dan di kelilingi oleh teman masa kanak-kanaknya akan dihadapkan pada lingkungan yang terdiri dari berbagai macam orang dengan berbagai macam keyakinan.

Tidak mengherankan, keadaan ini berpengaruh besar bagi mereka. Mereka mengubah sejumlah sikap yang telah mereka anut sejak masa kanak-kanak, dan menilai kembali siakap yang lain berdasarkan informasi yang baru.

Pada umumnya, sebagian besar sistem keyakinan mereka mengalami pengaturan kembali. Dan dalam hal pendidikan hendaknya dihindarkan pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka sosial. Terutama pengajaran yang memberi pengertian dan kesadaran mengenai sebab-sebab terjadinya, dipertahankannya, dan mengenai kerugian prasangka sosial bagi masyarakat sebagai keseluruhan dan bagi anggota-angotanya. Pendidikan bisa membantu mengurangi prasangka, tetapi pengaruhnya tidak konsisten, tidak dramatis, dan tidak cepat.


2.4.4 Rekategorisasi

Pendekatan utama lainnya difokuskan kepada basis kognitif dari stereotip. Bahkan ketika ada kontak antara anggota in-goup dan out-group dan anggota out-group ternyata tidak cocok dengan stereotip, tendensi ke arah pemrosesan berbasis kategori masih kuat dan stereotip juga masih kuat.

Salah satu cara untuk mengatasi stereotip dan mengurangi prasangka adalah merekategorisasikan anggota in-group dan out-group menjadi anggota satu kelompok yang lebih besar dan inklusif.

Ketika pemain sepakbola dari dua tim berdoa bersama di lapangan setelah usai pertandingan yang seru, itu sama saja berarti mereka membentuk kelompok superordinat yakni kelompok penganut Kristen yang taat yang tidak membeda-bedakan kelompok tim. Pembentukan kelompok superordinat akan bergantung pada variabel situasi yang menonjol mereduksi kemenonjolan keanggotaan kelompok. Penciptaan kelompok superordinat mungkin bisa membantu kita membuang stereotip lama.

Rekategorisasi juga dapat mereduksi prasangka dengan menonjolkan kategori silang. Jika beberapa anggota dari gereja kita bermain bersama dalam satu tim sepakbola dari anggota gereja lain, maka perbedaan sosial akan berkurang dan keduanya tidak condong pada favoritisme in-group.

Beberepa riset menunjukkan ada banyak keinginan untuk membentuk identitas superordinat, setidaknya dalam term harmoni antarkelompok. Misalnya, di AS, anggota kelompok minoritas etnis yang mengidentifikasi dengan kultur superordinat cenderung menilai sudah ada keadilan dalam term prosedur. Tetapi, mereka yang mengidentifikasi terutama pada kelompok etnisnya sendiri kemungkinan besar melihat kesenjangan dalam perebutan sumber daya.

Banyak negara modern berusaha mengakomodsi berbagai macam kelompok. Pada saat yang sama, banyak negara yang melakukan penyetaraan hak untuk semua kelompok. Usaha seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Selama berabad-abad sejarah manusia, baru kali ada kesetaraan semacam ini. Memang benar bahwa prasangka belumlah lenyap sama sekali. Namun, kesulitan praktis untuk mengurangi prasangka tidak boleh mencegah kita untuk berjuang mengatasi prasangka ini, karena ada alasan moral dan legal.

Mengurangi prasangka saat ini mungkin lebih penting ketimbang di masa lalu. Tidak ada pendekatan tunggal yang bisa memecahkan masalah ini. Antagonisme kelompok tampaknya masih merupakan aspek fundamental dari kondisi manusia. Namun di negara-negara demokrasi, perlu untuk diakui adanya harmoni dan toleransi kelompok yang cukup besar sehingga umat manusia bisa hidup berdampingan secara sehat.

Khususnya bagi bangsa kita ini, yang sejak kemerdekaannya telah mengalami pahitnya beberapa pemberontakan yang sebagian besar turut disebabkan oleh, bahkan mungkin satu-satunya penyebabnya adanya prasangka sosial karena masih terdapat akar-akar prasangka sosial antar golongan akibat zaman kolonial.

Dan bangsa kita akan menghadapi masa depan yang besar apabila seluruh potensi masyarakat dapat berkembang tanpa prasangka sosial antargolongan, kiranya patut lebih berkenalan dengan gejala-gejala prasangka sosial serta sebab-sebabnya.






BAB 3

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Prasangka merupakan komponen afektif atau komponen evaluatif dari antagonisme kelompok. Prasangka adalah penilaian terhadap suatu kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok orang itu. Prasangka memiliki kualitas suka-tidak suka yang sama dengan dimensi afektif atau evaluatif yang telah dibahas dalam kaitannya dengan kesan dan sikap.

Sumber prasangka bukan merupakan attitude karena attitude-attitude itu tidak dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan, tetapi bermacam-macam attitude itu dipelajari dan terbentuk pada manusia selama perkembangannya seperti adanya kepentingan perseorangan atau golongan tertentu, yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila mereka memupuk prasangka sosial itu, adanya tindakan diskriminatif, adanya ketidakinsafan akan kerugian-kerugian masyarakat yang mudah terjelma ke dalam tindakan-tindakan diskriminatif.

Ciri pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain pada orang-orang yang berciri-ciri toleransi, memupuk khayalan-khayalan yang agresif, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman,  dan lain-lain.

Upaya untuk mengurangi prasangka sosial adalah dengan melakukan sosialisasi, kontak antarkelompok, berpendidikan tinggi, dan rekategorisasi.


3.2 Saran

Sebaiknya usaha mengurangi prasangka sosial ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya kepada golongan atau kelompok. Dan bisa mengetahui lebih spesifik lagi tentang penyebab terjadinya prasangka sosial serta mampu mengembangkan usaha mengurangi prasangka sosial saat ini.

            Selain itu penulis juga menyarankan agar pembaca mendalami pengertian kelompok in-group dan out-group yang digunakan sebagai sampel dari makalah ini dengan sebaik mungkin yang dapat mempermudah memahami prasangka sosial antargolongan serta dijamin menjadi keuntungan tersendiri bagi pembaca.

Untuk penyempurnaan pembuatan makalah kedepannya, saya juga mengharapkan adanya saran dari semua pihak  baik dosen maupun seluruh mahasiswa yang membaca makalah “Prasangka Sosial Antargolongan dan Upaya Untuk Menguranginya” ini terhadap kekurangan yang terdapat pada makalah ini.






DAFTAR PUSTAKA



Gerungan, W.A. 1986. Psikologi Sosial. Cetakan kesembilan. Bandung : PT. Eresco.

Sears, D.O.dkk. 1985. Psikologi Sosial. Jilid kedua. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Taylor, S.E.dkk. 2009. Psikologi Sosial. Edisi keduabelas. Jakarta : Erlangga.

kk.mercubuana.ac.id/files/61017-5-445630179417.doc
pukul 09.00 WIB, 08 Juli 2013


 


Lihat pula :