Minggu, 10 Februari 2013

TEKA-TEKI KEHIDUPAN


ILUSTRASI GAMBAR

Kedatangan penulis kali ini ke Gereja adalah untuk mewujudnyatakan kerinduan terhadap Sang Pencipta, yaitu Alllah Bapa. Dan menjadikan Yesus sebagai pengantar dari awal keluar hingga masuknya kembali. Namun penulis bukanlah beribadah di gedung yang menciptakan suasana hikmat berisikan orang-orang yang percaya akan Yesus, melainkan ke salah satu rumah dari orang percaya tersebut.
Penulis bersama sejumlah pemuda Kristen lainnya menuju lokasi yang telah direncanakan. Sesampainya di lokasi tempat orang percaya tersebut bernaung, betapa takjubnya sang penulis melihat kemegahan yang ada di hadapannya. Tapi itu tak terpampang nyata pada pemuda yang ada di samping kanan kirinya. Sebab sudah hal yang biasa mengunjungi rumah orang berduit lebih, seakan uang didompet mereka meluap karena terlalu kayanya. Apalagi Gereja tempat penulis beribadah kebanyakan golongan menengah ke atas, sedangkan penulis hanyalah golongan menengah ke sudut paling pojok dan dangkal. Itulah yang membuat penulis jadi terlihat kamseupay.
Saat duduk, penulis hanya bisa terdiam kaku. Terasa begitu canggung. Ada banyak aura hitam yang membendung diri penulis. ‘Begitu tidak nyaman. Begitu norak. Dan begitu…..indah’, dalam hati penulis yang tiba-tiba cenat-cenut ketika sesosok makhluk Tuhan yang paling seksi duduk tepat arah jam sebelas dari arah duduk penulis yang menghadap utara. ‘Siapakah dia yang begitu berbeda? Terlihat seperti Nias . Astaga!’, dag dig dug hati penulis melihat sosok itu menatapnya balik. Tahukah dia penulis curi pandang? ‘Curigakah dia?’
Kelihatannya orang percaya ini memiliki delapan anak. Namun, hanya tiga yang layak berada dalam foto keluarga. ‘Kandungkah ketiganya? Lalu? Lima lagi siapa?’ Ada yang mirip peranakan dari kawin campur, ada yang seperti Nias, ada yang tidak terdeteksi mirip apa. Tidak satupun diantara mereka yang mirip dengan orangtua mereka dan termasuk saudaranya sendiri. Padahal pastinya dalam keluarga akan ada kemiripan biologis antara anak dengan orangtuanya dan anak terhadap saudaranya. ‘Huftt, sungguh bertolakbelakang’. ‘Dia….’, melirik terus ke arah penulis seolah inginkan penulis, ingin bercinta dengan penulis. Hingga penulis sangat salah tingkah. Begitu panas, padahal ada kipas angin serong ke hadapannya berhembus kencang. ‘Ya ampun, tatapan itu sungguh menggetarkan hati. Buatku cetar membahana badai. Oh, akankah semua berakhir?’ Penulis pikir iya, sebab tak mungkin tinggal lama di sini.
Penulis mengenali adik dari sosok yang dikaguminya. Dia adalah teman seangkatan penulis saat pelepasan masa remaja ke masa pendewasaan dalam Tuhan. Dia mirip dengan orang percaya itu. Namun,…kenapa diperlakukan sebagai pembantu? Menyebutkan namanya dengan nada lantang sedikit melecehkan. Jika memang mengadopsi anak, kenapa harus hingga lima? Kenapa ciptaan indah itu bukan di antara ketiga anak yang ada di foto? Jika pun anak adopsi, mengapa perlakuan mereka sungguh sama seperti anak kandung? Kenapa tidak ada yang menggubris tentang kejanggalan keluarga ini? Apa mereka telah tahu sebelumnya dibandingkan penulis hingga bukan merupakan hal yang perlu dibahas? Atau mereka tidak ingin menggosip karena baru selesai ibadah?
‘Hmm.…’, menghela napas. Begitu banyak pertanyaan untuk menebak teka-teki ini dari kesan pertama penulis melihat situasi dalam sebuah keluarga orang percaya. Memang nyata bila ada yang hidup beratapkan seng dan berlantaikan keramik. Yang membedakan hanyalah luas dan sempitnya ruang itu. Walau penulis merasa tidak nyambung tapi lebih bahagia yang hidupnya beratapkan langit dan beralaskan tanah karna ruangan mereka lebih luas untuk bergerak.
Begitulah teka-teki kehidupan. Tidak perlu tahu apa jawabnya dan kapan akan terjawabnya pertanyaan yang penuh kata kenapa dan kenapa. Cukup berpikir positif menjalani hidup sambil menunggu sampai tersenyum karna teka-teki telah terjawab. Dan tak perlu tahu siapa penulis sebenarnya, sebab penulis juga teka-teki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar